Jawapos, 24 april 2008
Alce Anneke Wantalangi, 48, berbeda dari pendeta kebanyakan. Tak hanya berkutat pada masalah tata cara peribadatan, dia memilih membaktikan diri untuk mengentaskan orang-orang yang biasa diberi sebutan "gila".
Setelah delapan tahun menekuni jalan ini, lebih dari 20 orang "gila" telah dia asuh dan sembuhkan.
HIDUP Alce Anneke Wantalangi tiba-tiba berubah pada pertengahan 2000. Ketika itu, ada seorang pendeta koleganya yang membawa anak perempuannya berumur sekitar 18 tahun. Pendeta tersebut ingin menitipkan anak perempuan itu, sebut saja bernama Ana, di tempat tinggal Anneke di Jalan Griya Kebraon Tengah Surabaya.
Sejatinya, Anneke kaget ketika diberi tahu bahwa Ana punya kelainan jiwa. Tapi, Anneke langsung bersedia menerima Ana. "Seperti ada bisikan bahwa saya harus menerimanya," kenang Anneke.
Anneke -bersama Roni Christanto, suaminya- lantas menerima Ana layaknya anak sendiri. Bersama Deily Meldy, anak angkat yang waktu itu berumur enam tahun.
Maklum, sejak menikah pada 26 November 1988, Anneke dan Roni tak kunjung dikaruniai anak.
Anneke dan Roni pun mulai menjalani hidup bersama anggota keluarga baru tersebut. Kehadiran Ana sama sekali tak dijadikan Anneke sebagai beban. Dia memperlakukan Ana seperti Deily, tanpa ada perbedaan kasih sayang.
Padahal, ketika baru datang, perilaku Ana sungguh tidak normal. Bagi orang "normal", Ana boleh dibilang tidak tahu malu. "Setelah mandi, dia keluar tanpa pakai
baju. Padahal, kan banyak ponakan saya yang cowok-cowok," ungkap Anneke.
Di tengah malam, Ana juga kerap mengomel dan menangis tidakkeruan. Sejatinya, bukan hanya itu perilaku nyeleneh Ana. Banyak lagi ulah yang bisa dikategorikan sebagai "tak tahu susila". Tapi, Anneke enggan membeberkan semua. Sebab, Ana memang telah sembuh. Dia sudah bersama keluarganya.
Ditinggal Ana, semula Anneke sedih. Tapi, di balik kesedihan itu, Anneke gembira. Sebab, Ana bisa berkumpul dengan keluarganya lagi. "Saya tidak berhak menahan dia. Apalagi, yang bisa menyembuhkan memang keluarga. Kasih sayang itu obatnya," tegas Anneke.
Pada tahun itu juga, Anneke didatangi lagi "keluarga" baru. Kali ini, pasiennya adalah Anik, wanita asal Surabaya. Dengan senang hati, Anneke menampung dan mengasuh wanita dengan kelainan jiwa tersebut. Tak sampai setahun, Anik sembuh. Dia pun kembali ke keluarganya. "Tidak masalah bagi saya. Saya senang bisa membantu," ujar wanita asal Manado itu.
Dua "pasien" tersembuhkan, seolah ada yang menginformasikan kiprahnya. Pada 2003, Anneke kembali dimintai bantuan. Kali ini, pasien itu adalah Anita Ellena, gadis 18 tahun asal Manado. Menurut Anneke, Anita adalah salah seorang pasien terparah. "Memorinya sudah hilang. Dia tidak bisa mengingat lagi karena pengaruh narkoba," jelas perempuan yang sekarang berumur 48 tahun tersebut.
Sebenarnya Anneke kewalahan. Tapi, dia tetap mau menampung Anita. Padahal, sang pasien sering membuat Anneke bingung. Sebab, Anita sering berteriak saat malam. "Saya kan tidak pernah belajar ilmu kejiwaan. Katanya, kalau sudah kayak gitu, langsung dimandiin saja. Untungnya manjur," ungkapnya.
Anita belum sembuh, Anneke sudah kedatangan pasien lagi. Begitu seterusnya, hingga alumnus Pendidikan Alkitab Tawangmangu, Solo, itu terus punya anggota keluarga baru yang datang silih berganti. Sejak 2000 itu, total sudah ada 20-an orang yang telah dan sedang dia bantu.
Salah seorang pasien yang "berkesan" bagi Anneke adalah Sukati yang tiba pada 2005. Ketika awal datang, Sukati tidak bisa makan memakai sendok. Kalau makan, dia langsung memakai mulut pada piring. "Ya Tuhan, saya menangis melihat itu kali pertama. Maaf, seperti asu (anjing, Red)," ujar wanita berkacamata tersebut.
Usut punya usut, Sukati dulu memang tersiksa. Tiga tahun lamanya dia hidup dalam pasungan. Kasih Anneke tak pernah putus. Dia dengan sabar menyuapi Sukati. Perlahan-lahan, Sukati diajari memakai sendok. Tiga bulan ikut Anneke, Sukati mulai bisa memegang sendok. "Meski, pas masuk mulut, makanannya sudah jatuh semua," kata wanita yang juga menempuh pendidikan S-1 Jurusan Teologi, Duta Panisal, Jember, tersebut.
Dua tahun diasuh Anneke, Sukati berangsur pulih. Dia mulai bisa diajak berkomunikasi dan melakukan urusannya sendiri. Misalnya, mandi danmakan. Awal tahun lalu, Sukati diambil lagi oleh keluarganya.
Saat ini, pasien yang dirawat Anneke ada delapan orang. Mereka tinggal bersamanya di Gereja Pantekosta Immanuel Shekinah Glory, yang didirikan Anneke di Kebraon Indah Permai pada 2003.
Meski dia seorang pemuka agama Kristen, tak seluruh pasien Anneke Kristiani. Ada pula yang muslim. Pun begitu, Anneke tetap tak mau pilih kasih. Sepanjang keluarga pasien setuju bahwa Anneke harus merawat pasien di gereja, dia siap mengasuh mereka. Di antara sekitar 20 pasien yang pernah ditangani, terhitung dua orang yang muslim. Kini, dua orang itu sudah dibawa kembali oleh keluarga masing-masing.
Tak hanya beda agama, anak-anak asuhnya tersebut juga datang dari beragam latar belakang. Ada yang lantaran narkoba seperti Anita, ada yang gila lantaran digempur problem ekonomi, dikurung suami, bahkan ada mahasiswa pendidikan Alkitab yang mengalami gangguan jiwa karena tak mampu meneruskan studi.
Dari nul puthul (tanpa pengetahuan sama sekali) soal orang-orang yang memiliki gangguan ingatan, pengalaman membuat Anneke mengantongi ilmu tersendiri. Orang yang dianggap gila, menurut dia, tidak perlu dikasari atau dipasung. Obat paling cespleng (manjur) hanya satu, yaitu kasih dan doa.
Bagi Anneke, orang "gila" mempunyai hak hidup yang sama dengan orang-orang "waras". Yaitu, hak untuk dicintai dan hak untuk hidup. "Segala jiwa, Tuhan yang punya," kata Anneke soal tekadnya mengurus orang-orang gila.
Sebagai hamba Tuhan, tidak ada alasan bagi Anneke untuk menolak mereka. Orang "gila" masih punya kesempatan untuk mendapatakan pencerahan. "Apakah hanya orang normal yang butuh dicerahkan? Saya rasa tidak," tegas wanita kelahiran Manado, 8 Oktober 1960, tersebut.
Bukan hanya itu yang memotivasi Anneke untuk merawat orang-orang "gila". Sebab,
dalam visi gerejanya, telah ditentukan bahwa gereja adalah rumah pemulihan segala bangsa. Simbolisasi untuk itu adalah 54 bendera negara yang dipasang di dinding kanan dan kiri gereja. "Orang gangguan jiwa dari negara mana pun bisa dipulihkan di sini. Sesuai visi kami," jelasnya.
Justru saat mulai berani merawat orang tidak normal itulah berkah untuk Anneke semakin berlimpah. Dari pendeta yang tidak memiliki gereja, dia telah menjadi pendeta yang memiliki gereja pribadi untuk para jemaatnya yang berjumlah sekitar 300 orang (yang didirikan pada 2003 itu).
"Sebelumnya, pelayanan saya berpindah-pindah, dari satu hotel ke hotel lain. Dari rumah jemaat satu ke jemaat lain. Saya juga pernah pelayanan di sebuah gudang kecil," ungkapnya.
Setelah berhasil membangun dan memiliki gereja, kini Anneke bercita-cita membangun yayasan khusus orang gila. Tujuannya satu, agar bisa lebih banyak menampung pasien. Sebab, gereja miliknya belum mampu menampung banyak pasien. Apalagi, selain menampung delapan orang kelainan jiwa, sekarang Anneke mengasuh 18 anak-anak "normal" yang membutuhkan. "Tuhan itu adil. Saya tidak diberi satu pun anak kandung, tapi saya punya 20-an anak," ujarnya.
Lalu, sampai kapan dia terus melakoni jalan tersebut? "Sampai tugas saya di dunia ini selesai. Sampai akhir hidup saya," jawabnya mantap
Diajari Berdoa, Diajak ke Mal
Cara Anneke Sembuhkan Pasien
SURABAYA - Kasih dan doa memang menjadi andalan Anneke dalam menyembuhkan pasiennya. Cara itu sudah dia gunakan sejak pertama menangani pasien sakit jiwa pada 2000.
"Kami perlakukan mereka seperti orang waras lainnya. Kalau berbicara pun harus seperti berbicara dengan orang ’waras’," ungkapnya.
Cara yang boleh dibilang cukup ekstrem adalah mengajak orang-orang "tak waras" tersebut berjalan-jalan ke mal. Itu, kata Anneke, agar mereka bisa merasakan seperti yang dirasakan orang lain. Menurut dia, tahun ini, kegiatan tersebut dilakukan mulai pertengahan Februari.
Untuk memudahkan penjagaan, Anneke menyiapkan seorang pengawas untuk seorang pasien. Ketika berjalan-jalan, dia memakaikan pakaian yang pantas kepada "anak asuh" tersebut. Itu agar pengunjung mal menyangka mereka "normal".
Kemarin (23/4), Anneke mengajak delapan anak asuhnya ke Royal Plaza. Sebelum berangkat, dia dan para pengasuh menyiapkan para pasien itu. Anneke, yang oleh pasien kerap dipanggil Mami, itu berpesan, "Ingat, nggak boleh teriak-teriak. Tantri, jangan ngomong ae." Tantri, salah seorang pasien, menganggut-anggut, entah mengerti entah tidak.
Usai brifing, mereka salin baju di lantai dua gereja di kawasan Kebraon tersebut. Lanny, Tantri, dan Retno -beberapa pasien- memilih atasan cokelat. "Itu baju atasan mereka. Kalau Anita tidak perlu dipilihin. Dia sudah ngerti," jelas Juneythi Lydia, salah seorang pengasuh.
Tepat pukul 12.30, memakai Honda Odyssey milik Anneke, mereka menuju plaza. Dalam perjalanan, para pasien itu terlibat obrolan seru. Memang, benar-benar seru. Omongan mereka nggak nyambung. Karena berisik, Anneke pun menasihati. "Ayo, ingat pesan Mami nggak? Nanti kalau sudah sampai tidak, boleh ada yang seperti itu. Yang tidak nurut nggak dapat makan siang," tegur Anneke.
Sampai di plaza, kebingungan langsung melanda Anneke. Yono, salah seorang pasien, raib. Setelah dicari-cari, Yono ternyata sedang duduk di restoran cepat saji bersama orang tak dikenal. "Puji Tuhan, Yono ketemu. Jantung saya hampir copot melihat Yono tidak ada," ungkapnya.
Rombongan itu kemudian menuju lantai lima untuk makan. Namun, perjalanan harus dihentikan sejenak. Sebab, Tantri tiba-tiba menari-nari mengikuti alunan musik R&B. Tubuhnya berleggak-lenggok dan sering dipepetkan ke tembok layaknya penari striptis. Untung, tak banyak pengunjung yang tahu. "Dia memang suka nari," kata Cahyo Sumarsono, pengawas lain.
Ketika disodori nasi dan ayam goreng, mereka memakannya dengan lahap. Namun, Tantri tetap tak mau berhenti ngoceh. Tak ada yang tahu apa yang dia bicarakan. Bukan hanya itu, Tantri lantas berulah. Dia tertawa cukup nyaring. Pandangan pengunjung restoran pun tertuju pada Tantri. Tapi, wanita 42 tahun itu bergeming. Tantri memang pantas girang. Sebab, kemarin adalah kali pertama dirinya jalan-jalan.
Saat pulang, Tantri masih berulah. Ketika mampir ke toko roti, dia menghampiri dua cewek yang asyik makan. Dia lalu bernyanyi mengikuti lagu jazz yang sedang mengalun. "Ow, ow, ow, I don’t know," seru Tantri.
Berbagai pengalaman "seru" memang pernah ditemui Anneke saat mengajak anak didiknya berjalan-jalan. Pernah suatu ketika, dia tiba-tiba dipanggil satpam dan diajak ke kantor sekuriti. Anneke diminta mempertanggungjawabkan perbuatan salah seorang pasiennya, Sukati. Sebab, Sukati masuk ke freezer besar. Hampir lima menit Sukati berada di lemari pembeku tersebut. "Kalau sampai lima menit, mungkin Sukati sudah beku," kata Anneke.
Meski demikian, Anneke dan pengasuh lainnya tidak merasa malu jalan bersama mereka. Justru, jalan-jalan dengan mereka cukup menyenangkan. "Ngapain malu, mereka sama kayak kita. Malah mereka bikin kita ketawa," ujar Neythi, panggilan akrab Juneythi.
Anneke mengaku, cara merawat dengan jalan-jalan tersebut cukup manjur. Anak asuhnya bisa fresh dan senang. Namun, kendala biaya membuat Anneke tidak bisa mengajak mereka berjalan-jalan secara rutin. "Kalau jalan-jalan, dananya harus besar. Takutnya mereka minta ini-itu," ungkapnya.
Cara lain untuk merawat mereka adalah memberikan pelajaran dasar hidup. Layaknya guru taman kanak-kanak, Anneke kembali memasukkan "memori" baru untuk anak didiknya itu mulai nol. Misalnya, cara mandi, berpakaian, makan.
Lulus pelajaran dasar, dia akan meningkatkan "kurikulum" lagi. Yaitu, pelajaran mengenai kepribadian. "Meski gila, mereka wajib diajari sopan santun," tegasnya.
Tujuannya satu, agar tidak membuat keributan bila dibawa ke dunia luar. "Puji Tuhan mereka mengerti," ungkapnya. Bahkan, pengertian dan toleransi mereka tak kalah dari manusia normal.
Setelah itu, Anneke mulai mengajak mereka berkomunikasi. Entah dimengerti atau tidak, dia terus berusaha sampai mereka merespons apa yang dikatakan. "Semua sudah bisa bercerita tentang masa lalunya," jelasnya menceritakan perkembangan pasiennya.
Hal lain yang perlu diterapkan adalah disiplin. Mulai hal-hal sepele seperti jam berapa harus bangun, mandi, makan, atau tidur. Untuk bangun pagi pasiennya, Anneke memberikan waktu maksimal pukul 08.00. Ketika jarum jam menunjuk angka delapan, mereka harus turun dan berkumpul di gereja. "Mereka harus baca Alkitab," katanya.
Namanya orang "gila", acara membaca Alkitab pun tidak bisa khusyuk. Ada saja ulah mereka. Yono sering mondar-mandir dan menyanyi, Tantri seperti biasa berbicara sendiri dengan bahasa Madura kesukaannya, dan Lanny membaca kitab dengan keras. Sementara yang lain hanya diam termenung. Misalnya, Afuk yang hanya geleng-geleng kepala saat disodori Alkitab. Laki-laki berkulit putih itu sering menepuk kepalanya sambil berbicara sendiri. "Kalau Andreas, dikasih Alkitab, dia terus saja membaca sampai Alkitab kami tarik," kujar Anneke.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang sudah tidak bisa membaca? Anneke tidak lantas melepas mereka. Dia memberikan penyejuk iman. "Jadi, yang tidak bisa baca kan bisa dengar ucapan saya," jelasnya.
Setelah membaca Alkitab, mereka lantas digiring ke muka gereja. Di samping kanan dan kiri gereja itu, tersedia ruang kecil. Namanya Menara Doa. Di tempat itulah pasien Anneke harus berdoa selama sejam. Tapi, tentu tak semua berdoa. "Ada yang tidur, nyanyi, ceramah, ada juga yang hanya mengelus-elus hidung," ungkapnya.
Sebulan pertama merupakan pengalaman yang melelahkan bagi Anneke. Dunia dirasakan seperti "neraka". Sebab, delapan anak asuhnya yang dibiarkan berkeliaran di sekitar gereja itu terkadang kencing dan membuang kotoran di sembarang tempat.
Bukan hanya itu, dirinya juga harus menangani pasien cewek yang sedang menstruasi. Hal yang paling merepotkan menurut Anneke ketika pasien cewek yang berjumlah empat orang itu mengalami menstruasi bersamaan. Mereka sudah lupa cara memakai pembalut. "Ya kami yang gantiin. Tapi, sambil diajari caranya," katanya.
Kini, Anneke mulai menuai hasil. Anak asuhnya sudah bisa mandiri. Setidaknya sudah bisa mandi dan makan sendiri. Bahkan, salah seorang anak asuhnya sudah bisa ngemong pasien lainnya.
Selain itu, dia punya peraturan. Keluarga pasien harus membantu penyembuhan. Caranya, rutin mengunjungi maksimal sebulan sekali. Jika tidak bisa, cukup lewat telepon. "Saya berpesan kepada mereka (keluarga, Red), boleh titip di sini, tapi jangan dibuang. Meski mereka tidak mengerti, mereka senang dikunjungi atau ditelepon," tegasnya.
Memang, Anneke tak hendak menjadi Yesus yang bisa menyembuhkan orang-orang sakit ingatan. Setidaknya, lewat kiprahnya, dia ingin mengamalkan hukum terbesar yang diajarkan Sang Kristus. Yaitu, hukum cinta kasih. (yen/may/dos)
Ungkapan Keluarga Baru Pendeta Alce Anneke Wantalangi
Lanny Bicara Banyak Bahasa, Tantri Masih Ngoceh
Beberapa orang "gila" yang dititipkan kepada Anneke telah mengalami perubahan. Perilaku mereka diklaim lebih baik dibandingkan dengan saat pertama mereka datang.
KETIKA baru tiba, Anita Ellena sama sekali hilang ingatan. Dia "lupa diri". Nama aslinya pun tak ingat. Kini setelah dirawat lima tahun, ingatannya mulai pulih.
Anita pun bisa menyebut namanya secara lengkap. "Saya anak bungsu dari empat bersaudara," katanya.
Selama dirawat Anneke, Anita termasuk pasien yang masih diperhatikan keluarga. Setidaknya, sebulan sekali ada kakak Anita yang menelepon untuk sekadar menanyakan kabar. "Kakak juga menjenguk saya di sini," ujarnya sambil tersenyum.
Meski kondisi psikologis Anita dianggap telah mengalami kemajuan pesat, berbicara dengan gadis berdarah Manado itu masih cukup sulit. Jawabannya kerap tidak nyambung dan terkesan asal-asalan.
Anita umur berapa sih? "Dua puluh," katanya dengan nada lirih. Dua puluh atau 23? Anita pun menjawab, "23 tahun."
Soal kedatangannya ke gereja tersebut, perempuan kelahiran 17 Agustus 1984 itu juga belum bisa menjawab. Dia hanya membersihkan kuping kirinya dengan kapas, lalu cekikikan sendiri.
Retno, rekan Anita, juga sulit diajak bicara. Wanita yang rambutnya mulai memutih itu hanya bisa tersenyum saat disodori pertanyaan. "Umur saya 20 tahun," kata wanita yang sebenarnya berusia 41 tahun itu.
Rupanya, wanita "murah senyum"(dia sering senyum-senyum sendiri) itu memang ingin disebut masih muda. Dia masih sering memakai jepit rambut bermotif bunga yang disematkan di sisi depan rambutnya.
Lanny juga termasuk pasien yang dianggap mengalami kemajuan pesat. Bila diajak omong, dia pasti menjawab dengan lantang. Bahkan, ibu satu anak itu mengaku bisa berbicara dengan berbagai bahasa. Mulai bahasa Inggris, Belanda, hingga Prancis. Meski mungkin dia tidak benar-benar bisa menguasai bahasa tersebut dengan baik. "How are you itu artinya siapa namamu," ujarnya dengan penuh percaya diri.
Yono merupakan pasien yang paling hobi menyanyi. Bila diajak menyanyi, dia bersemangat. Bahkan, dia sering memimpin temannya mendendangkan pujian kepada Sang Pencipta. Bila ada yang tidak ikut menyanyi, dia langsung menegur.
Seperti yang dilakukan kepada Tantri kemarin (23/4) ketika usai kegiatan membaca Alkitab. Karena Tantri tidak mau menyanyi dan lebih banyak "mengoceh" sendiri, Yono memperingatkan. Jari telunjuknya ditempelkan di bibir agar Tantri berhenti bicara sendiri. Lalu, Yono mengangkat tangan dan mengajak Tantri menyanyi. Dia terus menggerak-gerakkan tangan bak seorang pemimpin orkestra.
Tapi, saat ditanya daerah asalnya, Yono tidak bisa menjawab. Laki-laki berkepala plontos itu hanya terdiam sambil mengedip-ngedipkan mata dalam waktu cukup lama, lalu menyodorkan tangan untuk salaman. "Yono," ujarnya memperkenalkan diri, lalu pergi begitu saja. Dia kembali mendekati Anneke untuk salaman. "Terima kasih," katanya lirih lalu pergi. (may/yen/dos)
Tinggalkan Pekerjaan demi Orang Gila
UNTUK merawat para "pasien" itu, Anneke tidak sendiri. Dia dibantu sembilan pengawas sekaligus perawat orang "gila" yang kurang kasih sayang tersebut.
Salah seorang pengawas yang paling lama membantu adalah Cahyo Sumarsono. Laki-laki 30 tahun itu sudah belajar menjadi pengawas sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). "Saya mulai menjadi pengawas resmi pada 2003," ungkap Sonny, panggilan akrab Cahyo Sumarsono.
Saat itu, sarjana teologi tersebut harus mengambil keputusan besar dalam hidupnya untuk menjadi pengawas orang "gila". Karena keinginannya menjadi pengawas, dia memilih keluar dari perusahaan tempat dirinya bekerja. Itu berarti, dia harus kehilangan gaji tiap bulan yang mencapai Rp 1 juta. "Di sini, kami tidak digaji. Tapi, kalau ada berkat, kami dibagi," jelasnya.
Sonny menyatakan, tujuannya menjadi pengawas orang "gila" memang bukan mencari uang. Dia hanya ingin berbagi kasih dengan orang-orang yang kurang perhatian tersebut. "Kami merawat mereka seperti keluarga sendiri," tegasnya.
Meski, untuk merawat orang-orang tidak "waras" itu, dia harus rela dicakar, membersihkan kotoran mereka yang dibuang di sembarang tempat, memandikan, serta mengajari tata krama. "Rasanya, hati puas saat melihat mereka tidak memiliki kebiasaan buruk seperti membuang kotoran di sembarang tempat dan bisa mandiri. Kami sangat senang saat mereka bisa tertawa-tawa," katanya.
Juneythi Lydia mengalami hal yang sama. Gadis berusia 21 tahun itu pun merasakan kebahagiaan ketika "pasien" dia telah "waras" dengan menunjukkan berbagai kemajuan dalam tindakan sehari-sehari seperti mandi, makan, hingga memakai pakaian. "Kami ajari hal sederhana yang bisa membuat mereka menjadi seperti masyarakat lainnya. Capai dan kerja keras kami sirna seketika saat mereka tersenyum bahagia," ungkapnya dengan mata berbinar. (may/dos)
Gratis Titip Keluarga Gila
SELAMA hidup di gereja, tentu saja orang-orang hilang ingatan tersebut tetap butuh makan, minum, pakaian, dan kebutuhan lain. Untuk itu semua, Pendeta Alce Anneke Wantalangi harus berupaya guna bisa menghidupi orang-orang yang telah dianggap sebagai keluarganya itu.
"Puji Tuhan, selalu ada berkat untuk kehidupan kami di sini," katanya. Rezeki tersebut, menurut Anneke, tidak hanya berupa uang. Ada sebagian donatur yang tiap bulan memberikan bahan kebutuhan hidup sehari-hari bagi para penghuni gereja itu. Mulai beras, mi instan, sabun mandi, pasta gigi, hingga pakaian sehari-hari.
Dengan aliran rezeki yang cukup lancar itu pula, Aneke tidak perlu terlalu pusing memikirkan biaya hidup untuk keluarga istimewanya tersebut. Sehingga, dia bisa fokus "melayani" keluarga baru itu sampai mereka dapat berpikir mendekati orang normal. "Tidak ada biaya sama sekali untuk menitipkan mereka (orang hilang ingatan) di sini," tutur wanita berusia 48 tahun tersebut.
Selain dari donatur, Anneke tiap bulan masih mendapatkan uang dari suaminya, Ronny Christanto. Penghasilan dari sang suami itulah yang biasa digunakan untuk biaya hidup orang-orang di Gereja Pantekosta Immanuel Shekinah Glory miliknya tersebut.
Uang itu tidak hanya digunakan untuk keluarga baru yang terganggu ingatannya, tapi juga perawat mereka plus dua bocah anak penghuni Rutan Medaeng yang dititipkan di tempat tersebut sejak Maret lalu. "Terkadang, saya pun mendapatkan berkat. Saya bagi-bagi juga untuk mereka. Pokoknya, ada saja rezeki untuk kami," ungkapnya.
Anneke menyatakan, biaya hidup orang-orang di gereja itu memang tidak murah. Setidaknya, dalam sehari, mereka perlu mengeluarkan uang untuk makan tiga kali. Belum lagi, ada yang sakit. Tentu, dia membutuhkan biaya ekstra untuk pengobatan. Apalagi, perawatannya harus dilakukan di rumah sakit. Namun, dia tidak mau menyebut nominal biaya hidup mereka tiap hari. "Soal biaya, jangan ditanya, deh," tuturnya.
Yang jelas, nilai gizi makanan mereka cukup terjamin. Seperti kemarin (23/4), tujuh orang (seorang masih dibawa keluarganya) yang belum sepenuhnya "waras" itu sarapan dengan menu telur dadar, sayur, dan kerupuk. Menu pasti di siang hari mereka adalah sayur. Lauknya tentu ganti-ganti agar tidak bosan. Kadang, tempe, tahu, telur, dan ayam. "Kalau ada kegiatan makan-makan di gereja, mereka pasti makan makanan enak," jelas Anneke. "Saya senang, para jemaat tidak keberatan makan bersama mereka," sambungnya.
Meski ada kendala biaya dan hal rumit lain, dia bersemangat tetap merawat orang-orang yang mengalami gangguan ingatan tersebut. Sejak awal, dia bertekad memberikan kasih bagi para kaum "tersisih" itu. "Saya ingin melayani semua manusia, bukan hanya yang normal," tegas wanita berambut pendek tersebut. (may/yen/dos)